Jumat, 18 Januari 2013

Cerpen anak islami :Buah Kejujuran


Nah,  Cerpen anak Islami kali ini berkisah tentang kejujuranseorang anak yatim piatu. Cerpen anak ini  meraih juara harapan 1 dalam lomba menulis cerpen anak untuk yatim dan dhuafa yang diselenggarakan oleh Solopeduli. Cerpen anak  ini dimuat dalam buku kumpulan cerpen anak Rembulan di Hati Rahmi.\

Oleh : Ratna Kushardjanti
            Yasir masih saja memegangi lembaran-lembaran ratusan ribu rupiah dengan tangan bergetar. Matanya membulat. Seingatnya belum pernah sebelumya ia melihat uang sebanyak ini.
            Sejurus kemudian terdengar suara langkah kaki. Yasir cepat-cepat memasukkan lembar-lembar uang itu ke dalam dompet seperti semula. Dengan sigap disembunyikan dompet itu ke dalam tas kumalnya.
            “Yas, ayo main layang-layang ke tanah lapang!” Aji sepupu Yasir sudah ada di depannya, meraih layang-layang di kolong tempat tidur. Tepatnya balai-balai bambu tanpa kasur tempat mereka biasa tidur.
            “Ayuk! “  tawar Aji lagi melihat Yasir tak bergeming. Langkahnya terhenti sejenak. Tapi kemudian ia berlari keluar sambil menggerutu melihat saudaranya tak bereaksi.
            Apa sebaiknya kuceritakan saja perihal dompet ini pada Aji ya, bisik Yasir bimbang. Uang sebanyak ini tentu saja bisa untuk membeli sepeda baru impiannya dan melunasi tunggakan SPP tentu saja. Sudah dua kali ia membawa surat peringatan dari sekolah.
             Dari kecil Yasir tinggal bersama keluarga pakliknya. Lik Wardi adalah satu-satunya saudara yang tersisa yang kini merawat dirinya. Bapak dan ibu Yasir meninggal saat gempa bumi melanda Yogya. Mbak Romlah kakak satu-satunya pun ikut meninggal.Rumahnya rata dengan tanah. Suatu keajaiban Yadi yang saat itu berumur lima tahun sedang tidur pulas di atas tempat tidur  ditemukan selamat.
            Ah, mengingat bapak ibu membuat ada rasa sedih merayap di dada Yasir. Bapak yang bijaksana. Ibu yang di tengah kesibukannya selalu menyempatkan waktu untuk bercerita setiap kali mengantar Yasir tidur. Yasir mengusap air yang tiba-tiba  mengambang di sudut mata.
            Yasir masih ingat sebelum meninggal malamnya ibu bercerita tentang kejujuran seorang anak penjual susu. Betapa anak tersebut mengingatkan ibunya, meyakini Allah swt mengetahui apapun yang dilakukan manusia sekalipun khalifah tidak tahu. Ibu juga sering sekali berpesan pada Yadi bahwa jangan sekali-kali ia mengambil sesuatu yang bukan haknya.
            Deg! Dada  Yasir berdesir. Ia tersentak. Teringat kembali akan dompet itu. Tadi ia bahkan sempat berpikir akan menyerahkan saja dompet itu pada Lik Wardi. Lumayan bisa untuk menyambung biaya kehidupan mereka beberapa waktu.
            Sebetulnya Yasir sering merasa tidak tega melihat kehidupan Lik Wardi yang susah. Usaha tambal ban kecil-kecilan menurutnya jauh dari cukup untuk menghidupi isteri dan tiga orang anaknya. Belum lagi keberadaan Yasir di rumah ini tentu menambah beban pakliknya. Terkadang Yasir dan Aji sepulang sekolah menjajakan jasa menyemir sepatu. Tapi hasilnya tidak seberapa. Sekedar mengurangi jatah makan siang dan makan malam mereka berdua.
             Keadaan itulah yang mungkin membuat   Lik Yah isteri Lik Wardi gemar sekali mengomel sepanjang hari. Ingin rasanya Yasir menyerahkan uang yang ada di dalam dompet ini untuk sekedar membuat Lik Yah tersenyum. Tapi bukankah dompet ini bukan haknya?
            Yasir beristighfar.  Diraihnya kembali dompet itu dari dalam tas. Dompet yang ia temukan di tepi jalan sepulang sekolah tadi. Mencari-cari sesuatu yang ada di dalamnya.
            Nah, ini dia ketemu. Sebuah KTP tampak terselip rapi. Ada nama dan alamat. Matanya membulat,  Ternyata alamatnya tidak jauh dari kampung ini. Disambarnya sandal jepit bututnya. Yasir bergegas.    
*******
         “Bodoh kamu Yas, kenapa tidak kau terima saja imbalan seratus ribu darinya. Kan lumayan bisa nraktir kita. Sekali-kali dong kamu nraktir kita. Betul gak Dim?”celetuk Doni kepada Dimas ketika akhirnya Yasir tak kuat menyimpan rahasia penemuan dompet itu. Kejadian yang sudah sepekan ini ia simpan rapat-rapat. Dimas manggut-manggut membenarkan.
            “Alaah, sok alim kamu Yas. Kenapa kamu ga cerita ke bapak? Coba uang itu kita ambil. Kita bisa beli sepeda polygon. Kan keren” Aji sepupunya yang sekaligus teman sekelas menimpali. Yasir ingat beberapa waktu yang lalu ia dan Aji sempat membelai-belai sepeda polygon yang nongkrong di  bengkel Mas Yanto. Selain usaha bengkel sepeda Mas Yanto juga menjual sepeda second berbagai merek.
            Yasir terdiam. Sebelum ia sempat menjawab Bima datang,memberitahukan bahwa Yasir dipanggil oleh Pak Prapto, kepala sekolah. Dengan berdebar-debar Yasir bergegas ke ruang kepala sekolah. Sengatnya ia tidak berbuat kesalahan. Atau jangan-jangan masalah tunggakan SPP yang belum juga terlunasi.
            Di ruang kepala sekolah ada seorang laki-laki sedang berbincang renyah dengan Pak Prapto. Rasa-rasanya Yasir sudah pernah bertemu. Ya, betul. Pak Jatmiko, pemilik dompet yang ia temukan waktu itu. Mengapa ia kemari?
            “Sini duduk sini Yasir. Ini Pak Jatmiko teman bapak kuliah dulu. Orang yang dompetnya kautemukan terjatuh di jalan tempo hari. Beliau sangat kagum akan kejujuranmu. Uang dan kertas berharga yang ada di dompet itu berjumlah sangat banyak dan tak ada selembarpun yang hilang.” Kata Pak Prapto. Yasir duduk tak jauh dari Pak Prapto. Ia menunduk kikuk. Ketika Yasir mengembalikan dompet ia ingat bahwa ia memang menyebutkan nama sekolah ini. Ketika itu Pak Jatmiko menanyakan sekolah Yasir. Tapi mau apa Pak Jatmiko kemari?
            “Dua hari yang lalu Pak Jatmiko kemari untuk mencari tahu tentang kamu. Ia terharu karena kamu ternyata sudah tidak punya orang tua dan hanya menumpang di rumah saudara yang kurang mampu pula. Ketika Pak Jatmiko tahu SPPmu belum terbayar beliau telah melunasi semuanya.” Lanjut Pak Prapto.
            Yasir terhenyak. Ia tak mampu berkata-kata. Senyum penuh terima kasih ia lemparkan pada Pak Jatmiko.
            “Tidak hanya itu. Kalau kau mau tinggallah bersama kami. Dua anakku kuliah di luar negeri. Isteriku sudah lama meninggal sedangkan aku tak ingin menikah lagi. Di rumah sepi sekali. Aku ingin kau jadi anak angkatku. Aku yang akan membiayai sekolahmu setinggi yang kau mau. Bagaimana?” Pak Jatmiko menyambung kata-kata Pak Prapto.
            Yasir merasa badannya bergetar karena terkejut dan bahagia. Beberapa hari yang lalu ia sempat mengutarakan keinginan berhenti sekolah kepada pakliknya karena Yasir meresa kasihan kepada pakliknya yang harus ikut membiayai sekolahnya.
Mimpinya menjadi ahli otomotif kembali berkibar di benaknya setelah beberapa waktu yang lalu dicampakkan jauh-jauh. Seketika Yasir turun ke lantai, sujud syukur.  Tak dihiraukan ada air menganak sungai di pipinya. Tak dihiraukan senyum haru kedua bapak di depannya. Ia ingat Bapak, ingat ibu, ingat Mbak Romlah. Terima kasih Allah.
                                                 *****
(Cerita ini memenangkan lomba menulis cerita pendek untuk anak dhuafa yang diselenggarakan oleh Majalah Hadila, Solo Peduli dan diterbitkan dalam kumpulan cerpen Rembulan di hati Rahmi1pada Bulan Agustus 2012)            

cerpen anak islami :Tendangan Maut


                                                        
                                                    Oleh  : Ummi Ratna
                Semua ini berawal dari kemenangan  team futsal SD Intis melawan SD Alkhairaat. Sungguh, seumur-umur baru kali ini team futsal  SD Intis mengantongi  kemenangan. Bukan, bukan karena  anak-anak SD Intis tidak tangguh. Tapi sekolah ini merupakan sekolah baru. Level tertinggi adalah L-4 ( L four adalah sebutan bagi anak kelas empat) yang hanya terdiri  dari  enam anak. Itupun satu diantaranya perempuan. Wanda. Satu-satunya siswa perempuan di L4 yang  tidak tertarik futsal sama sekali sekalipun hanya sebagai supporter.
Jadi jika ada sekolah lain yang menantang pertandingan futsal semua siswa laki-laki di L-4 harus ikut berpartisipasi berjuang demi sekolah. Itupun personelnya masih kurang dan harus ditambah anak L-3 yang postur tubuh serta kelincahannya memungkinkan untuk menjadi personel pemain futsal. Biasanya Garda dari L-3 yang ikut bergabung. Novan dan Kayis berperan sebagai pemain cadangan. Hal yang sebetulnya kurang sepadan karena sekolah lain seringkali mengirimkan regu yang sudah teruji melalui seleksi ketat di sekolahnya serta rata-rata mereka sudah duduk di bangku kelas lima.
Kemenangan regu  futsal kali ini menjadi semacam euforia di Intis adalah merupakan hal yang wajar. Berkali-kali bertanding dengan SD Alkharaat mereka merasa selalu dipermalukan dengan kepahitan, yaitu kekalahan telak. Kali ini gol dari Ayasy, Garda dan  Dani seolah membayar kekalahan yang selama ini mereka rasakan. Enam-dua cukup membuat team SD Alkhairaat gigit jari meskipun mereka mambawa puluhan supporter dari sekolahnya. Supporter yang biasanya gegap gempita menyambut kemenangan regunya dan seringkali menciutkan hati anak-anak Intis.
Seperti janji Mr Bambs direktur sekolah merek jika SD Intis menang masing-masing yang berhasil mencetak gol akan mendapatkan sepuluh ribu rupiah sedangkan pemain lainnya mendapatkan masing-masing lima ribu rupiah. Tidak banyak memang. Hanya sekedar motivator tapi cukup membuat senyum mereka mengembang mendapatkan tambahan uang saku.  
             Bagi Ayasy masalahnya tidak sekedar uang sepuluh ribu.  Tampaknya lebih dari itu. Harga diri. Kemenangan regu SD Intis sekaligus dia sebagai pencetak gol fantastis adalah suatu kebanggaan sendiri. Kemenangan regu Intis yang menjadi buah bibir seluruh siswa berikut para educator. Tendangan hebat  Ayasy yang dibubungkan dari garis belakang yang dengan jitu langsung masuk ke gawang lawan menjadi pembicaraan. Mr Anto sebagai pelatihnyapun tak henti memuji. Ayasy merasa berada di atas angin. Ia seolah-olah menjadi pahlawan yang sangat berjasa karena berhasil mengalahkan SD Alkhairaat. Timbullah sombongnya. Di hadapan Wanda dan teman-teman di kelas lain tak henti dia bercerita tentang kehebatannya di lapangan futsal. Dia lupa bahwa kemenangan yang dirinya adalah kerja regu. Bukan karena kehebatan dirinya semata.
            Mulai hari itu Ayasy jadi merasa bahwa tendanganya sangat hebat terbukti dengan gol yang dicetaknya tempo hari. Ia mulai banyak bertingkah. Tidak hanya bola ia tendang. Kaleng bekas cat di halaman belakang sekolah, tempat sampah,  bahkan tempat pensil temannya yang kebetulan tergeletak di lantai kelas tak luput dari sasarannya. Terkadang di dalam kelas ia menendang-nendang angin bertingkah seolah sedang di lapangan. Hal itu membuat Ms Ayun wali kelasnya jengkel bukan kepalang. Beberapa temannya juga menggerutu akibat ulahnya.
            “Ayasy, ini di kelas bukan di lapangan. Jangan main tendang saja kamu ya” celetuk Ms Ayun ketika melihat Ayasy menendang buku Bahasa Indonesianya sendiri yang kebetulan terjatuh dari meja. Buku tersebut melayang-layang ke udara sebelum akhirnya jatuh tepat di atas mejanya. Ayasy tersenyum bangga memamerkan kebolehannya kepada Wanda yang ada di depannya. Wanda hanya mencibir. Ms Ayun geleng-geleng kepala. Hingga suatu pagi Ayasy kena batunya....
            Pagi itu seperti biasanya pelajaran Qiroati. Tiap pagi di awal hari anak-anak Intis belajar baca tulis Alqur’an sebelum opening. Semua anak sibuk. Ada yang sedang membaca disimak oleh educator ada yang sedang menulis, menyalin buku qiroati di hadapannya. Sebagian yang lain menyetorkan hafalan Al Qur’annya.
 Ayasy juga sibuk. Tapi tidak membaca, menulis Qiroati atau setor hafalan. Rupanya ia sedang berkhayal menjadi pemain sepak bola ulung seperti Ronaldo. Kaki kanannya siap beraksi kembali dengan loncatan yang dahsyat ke udara seolah-olah sedang menendang bola di lapangan. Tapi entah bagaimana mulanya mungkin malaikat diutus Allah untuk memberikan pelajaran pada seorang hambanya. Tendangannya melesat  dengan cepat tepat menimpa besi penyangga meja yang kebetulan  papannya lepas sehingga permukaannya tajam.
            “Creesss....!” darah segar mengalir dari  punggung telapak kaki kanan Ayasy. Ayasy meringis menahan sakit. Dengan terpincang-pincang ia menghampiri Ms Ayun yang sedang mengecek hafalan Wanda.
            “Mis, tolong. Kakiku...” ucapnya terbata-bata. Demi melihat darah Ayasy Mis Ayun terlonjak. Sertamerta dibawanya Ayasy ke ruang UKS. Luka Ayasy dirawat, diberi betadin dan dibalut kasa. Ayasy merasa perih luar biasa. Jika di rumah mungkin saja dia sudah menangis. Tapi ini di sekolah. Dia adalah pemimpin regu futsal SD Intis. Apalagi teman-teman merubungnya, ingin tahu apa yang sedang terjadi. Wandapun ada diantara mereka. Menangis dihadapan mereka berarti meruntuhkan kewibawaannya, tentu saja.
            Ayasy masih saja meringis kesakitan. Tapi hari ini Ayasy telah banyak belajar. Pertama sebagai manusia tidak selayaknya ia menyombongkan diri ketika berhasil meraih kemenangan. Yang kedua, peringatan dari educator hendaknya selalu diperhatikan.  Ayasy menyesali ulahnya. Dalam hati ia berjanji untuk memperbaiki sikapnya pada masa-masa mendatang.















                                      Malik Tidak Takut Lagi
Sekolah sudah berjalan satu bulan. Tapi seperti hari-hari yang lalu Malik masih selalu saja memegang erat tangan Mama.  Entahlah ia merasa sangat ngeri jika mama pergi. Malik tidak mau mama pergi. Tapi Malik juga tetap ingin sekolah. Betapa tidak. Ketika pertama kali ia datang ke sekolah ini diantar papa dan mamanya hatinya begitu terlonjak. Tak sabar rasanya unuk segera masuk menjadi siswa kelas 1 di sekolah ini.
Dan kini harapanya terkabul. Malik yang sudah terdaftar sebagai murid kelas satu di SD Intis memulai hari-hari pertamanya di sekolah. Teman Malik banyak. Ada Nia yang cantik, Alea yang ceria, Zaidan yang lucu, Iffah yang imut, Hafidz yang baik dan teman yang lainnya. Mrs Usna dan Mrs Ika educator kelas 1 pun adalah sosok yang ramah dan menyenangkan. Tapi Malik masih saja merasa takut.






                                                          Tendangan Maut
                                                    Oleh  : Ummi Ratna
                Semua ini berawal dari kemenangan  team futsal SD Intis melawan SD Alkhairaat. Sungguh, seumur-umur baru kali ini team futsal  SD Intis mengantongi  kemenangan. Bukan, bukan karena  anak-anak SD Intis tidak tangguh. Tapi sekolah ini merupakan sekolah baru. Level tertinggi adalah L-4 ( L four adalah sebutan bagi anak kelas empat) yang hanya terdiri  dari  enam anak. Itupun satu diantaranya perempuan. Wanda. Satu-satunya siswa perempuan di L4 yang  tidak tertarik futsal sama sekali sekalipun hanya sebagai supporter.
Jadi jika ada sekolah lain yang menantang pertandingan futsal semua siswa laki-laki di L-4 harus ikut berpartisipasi berjuang demi sekolah. Itupun personelnya masih kurang dan harus ditambah anak L-3 yang postur tubuh serta kelincahannya memungkinkan untuk menjadi personel pemain futsal. Biasanya Garda dari L-3 yang ikut bergabung. Novan dan Kayis berperan sebagai pemain cadangan. Hal yang sebetulnya kurang sepadan karena sekolah lain seringkali mengirimkan regu yang sudah teruji melalui seleksi ketat di sekolahnya serta rata-rata mereka sudah duduk di bangku kelas lima.
Kemenangan regu  futsal kali ini menjadi semacam euforia di Intis adalah merupakan hal yang wajar. Berkali-kali bertanding dengan SD Alkharaat mereka merasa selalu dipermalukan dengan kepahitan, yaitu kekalahan telak. Kali ini gol dari Ayasy, Garda dan  Dani seolah membayar kekalahan yang selama ini mereka rasakan. Enam-dua cukup membuat team SD Alkhairaat gigit jari meskipun mereka mambawa puluhan supporter dari sekolahnya. Supporter yang biasanya gegap gempita menyambut kemenangan regunya dan seringkali menciutkan hati anak-anak Intis.
Seperti janji Mr Bambs direktur sekolah merek jika SD Intis menang masing-masing yang berhasil mencetak gol akan mendapatkan sepuluh ribu rupiah sedangkan pemain lainnya mendapatkan masing-masing lima ribu rupiah. Tidak banyak memang. Hanya sekedar motivator tapi cukup membuat senyum mereka mengembang mendapatkan tambahan uang saku.  
             Bagi Ayasy masalahnya tidak sekedar uang sepuluh ribu.  Tampaknya lebih dari itu. Harga diri. Kemenangan regu SD Intis sekaligus dia sebagai pencetak gol fantastis adalah suatu kebanggaan sendiri. Kemenangan regu Intis yang menjadi buah bibir seluruh siswa berikut para educator. Tendangan hebat  Ayasy yang dibubungkan dari garis belakang yang dengan jitu langsung masuk ke gawang lawan menjadi pembicaraan. Mr Anto sebagai pelatihnyapun tak henti memuji. Ayasy merasa berada di atas angin. Ia seolah-olah menjadi pahlawan yang sangat berjasa karena berhasil mengalahkan SD Alkhairaat. Timbullah sombongnya. Di hadapan Wanda dan teman-teman di kelas lain tak henti dia bercerita tentang kehebatannya di lapangan futsal. Dia lupa bahwa kemenangan yang dirinya adalah kerja regu. Bukan karena kehebatan dirinya semata.
            Mulai hari itu Ayasy jadi merasa bahwa tendanganya sangat hebat terbukti dengan gol yang dicetaknya tempo hari. Ia mulai banyak bertingkah. Tidak hanya bola ia tendang. Kaleng bekas cat di halaman belakang sekolah, tempat sampah,  bahkan tempat pensil temannya yang kebetulan tergeletak di lantai kelas tak luput dari sasarannya. Terkadang di dalam kelas ia menendang-nendang angin bertingkah seolah sedang di lapangan. Hal itu membuat Ms Ayun wali kelasnya jengkel bukan kepalang. Beberapa temannya juga menggerutu akibat ulahnya.
            “Ayasy, ini di kelas bukan di lapangan. Jangan main tendang saja kamu ya” celetuk Ms Ayun ketika melihat Ayasy menendang buku Bahasa Indonesianya sendiri yang kebetulan terjatuh dari meja. Buku tersebut melayang-layang ke udara sebelum akhirnya jatuh tepat di atas mejanya. Ayasy tersenyum bangga memamerkan kebolehannya kepada Wanda yang ada di depannya. Wanda hanya mencibir. Ms Ayun geleng-geleng kepala. Hingga suatu pagi Ayasy kena batunya....
            Pagi itu seperti biasanya pelajaran Qiroati. Tiap pagi di awal hari anak-anak Intis belajar baca tulis Alqur’an sebelum opening. Semua anak sibuk. Ada yang sedang membaca disimak oleh educator ada yang sedang menulis, menyalin buku qiroati di hadapannya. Sebagian yang lain menyetorkan hafalan Al Qur’annya.
 Ayasy juga sibuk. Tapi tidak membaca, menulis Qiroati atau setor hafalan. Rupanya ia sedang berkhayal menjadi pemain sepak bola ulung seperti Ronaldo. Kaki kanannya siap beraksi kembali dengan loncatan yang dahsyat ke udara seolah-olah sedang menendang bola di lapangan. Tapi entah bagaimana mulanya mungkin malaikat diutus Allah untuk memberikan pelajaran pada seorang hambanya. Tendangannya melesat  dengan cepat tepat menimpa besi penyangga meja yang kebetulan  papannya lepas sehingga permukaannya tajam.
            “Creesss....!” darah segar mengalir dari  punggung telapak kaki kanan Ayasy. Ayasy meringis menahan sakit. Dengan terpincang-pincang ia menghampiri Ms Ayun yang sedang mengecek hafalan Wanda.
            “Mis, tolong. Kakiku...” ucapnya terbata-bata. Demi melihat darah Ayasy Mis Ayun terlonjak. Sertamerta dibawanya Ayasy ke ruang UKS. Luka Ayasy dirawat, diberi betadin dan dibalut kasa. Ayasy merasa perih luar biasa. Jika di rumah mungkin saja dia sudah menangis. Tapi ini di sekolah. Dia adalah pemimpin regu futsal SD Intis. Apalagi teman-teman merubungnya, ingin tahu apa yang sedang terjadi. Wandapun ada diantara mereka. Menangis dihadapan mereka berarti meruntuhkan kewibawaannya, tentu saja.
            Ayasy masih saja meringis kesakitan. Tapi hari ini Ayasy telah banyak belajar. Pertama sebagai manusia tidak selayaknya ia menyombongkan diri ketika berhasil meraih kemenangan. Yang kedua, peringatan dari educator hendaknya selalu diperhatikan.  Ayasy menyesali ulahnya. Dalam hati ia berjanji untuk memperbaiki sikapnya pada masa-masa mendatang.















                                      Malik Tidak Takut Lagi
Sekolah sudah berjalan satu bulan. Tapi seperti hari-hari yang lalu Malik masih selalu saja memegang erat tangan Mama.  Entahlah ia merasa sangat ngeri jika mama pergi. Malik tidak mau mama pergi. Tapi Malik juga tetap ingin sekolah. Betapa tidak. Ketika pertama kali ia datang ke sekolah ini diantar papa dan mamanya hatinya begitu terlonjak. Tak sabar rasanya unuk segera masuk menjadi siswa kelas 1 di sekolah ini.
Dan kini harapanya terkabul. Malik yang sudah terdaftar sebagai murid kelas satu di SD Intis memulai hari-hari pertamanya di sekolah. Teman Malik banyak. Ada Nia yang cantik, Alea yang ceria, Zaidan yang lucu, Iffah yang imut, Hafidz yang baik dan teman yang lainnya. Mrs Usna dan Mrs Ika educator kelas 1 pun adalah sosok yang ramah dan menyenangkan. Tapi Malik masih saja merasa takut.





cerpen anak islami : KEGIGIHAN SIWI


 Assalamualaykum! Wahai ayah bunda penggemar cerpen anak Islami. Sepertinya inilah yang dicari. Cerpen anak islam yang kami suguhkan di blog ini semoga mampu menjadi sumber bacaan yang bermanfaat bagi putera-puteri ayah bunda
                                   
                                                     Oleh : Ratna Kushardjanti AP
Siwi baru saja selesai membereskan bukunya di teras belakang ketika Prita menghampiri.
            “Sudah mengerjakan PR Matematika Siwi?” tanya Prita. Sepertinya Siwi tahu kemana arah pertanyaan Prita. Prita yang malas mengerjakan PR selalu menodong Siwi agar menyerahkan pekerjaannya untuk dicontek.
            “Coba kaukerjakan sendiri dulu, Prita. Nanti kalau ada yang tidak bisa biar kubantu menjelaskan” ujar Siwi lembut. Ia tak ingin membuat tersinggung gadis di hadapannya. Tapi Siwi juga ingin menyadarkan Prita bahwa apa yang sering dilakukannya adalah keliru dan jusru merugikan diri sendiri.
            “Huh, pelit! Anak pembantu saja banyak tingkah. “ gerutu Prita kesal. Sejak Mak Sari diminta oleh mama Prita tinggal di rumahnya dan membawa anaknya yang tak lain adalah Siwi teman sekelasnya, Prita memang selalu memanfaatkan kepandaian gadis itu. Tak jarang ia meminta Siwi mengerjakan berbagai tugas dari sekolah yang seharusnya ia selesaikan sendiri.
 Siwi memang termasuk murid yang rajin dan pandai di kelasnya. Setiap kenaikan kelas ia tak pernah keluar dari rangking tiga besar. Itulah yang sebetulnya diam-diam membuat Prita merasa iri.
            Sebetulnya Siwi sendiri sering merasa risih dengan sikap Prita. Tapi selama ini ia seringkali tidak kuasa menolak keinginan Prita mengingat kebaikan keluarga Prita terhadap Mak Sari, emaknya Siwi. Mereka banyak berhutang budi terhadap Pak Yudi dan Bu Yudi, orang tua Prita.
            Sepeninggal bapak enam bulan yang lalu, Bu Yudi meminta agar Mak Sari dan Siwi mau tinggal di rumahnya. Biaya kontrakan rumah yang terus naik ditambah kondisi keuangan yang tidak memungkinkan membuat Mak Sari tak kuasa menolak kebaikan Bu Yudi. Mak Sari sendiri sudah bertahun-tahun bekerja di rumah Bu Yudi. Tapi sebelumnya ia pulang ke rumah di sore hari  untuk mengurus keluarganya.
            “Cobalah dulu, Prit. Ini demi kebaikanmu agar kau juga paham” ujar Siwi lagi. Digenggamnya dengan erat buku matematika di tangannya. Tak sekali dua Prita main rebut ketika Siwi tidak mengijinkan Prita mencontek pekerjaannya.
            “Sudah, jangan sok!” dengan ketus Prita menimpali. Tangannya berusaha menggapai buku Siwi.
            “Prita, jaga sikapmu nak. Benar apa kata Siwi. Kamu sebaiknya mengerjakan sendiri PR mu. Bukankah Siwi selalu menawarkan bantuan ketika kamu bertanya.  Seharusnya kamu malu, Prita” tiba-tiba muncul Bu Yudi muncul dari ruang makan.
            “Mama kok membela dia sih?” Prita melotot ke arah Siwi sebelum dengan kasar ia berlari ke arah kamarnya dan menutup pintu dengan hentakan yang keras. Tak dihiraukan mamanya memanggilnya. Omelan panjang terdengar dari arah kamar Prita  membuat Siwi harus menarik nafas panjang.
            Siwi beringsut masuk ke dalam kamar tempat Siwi dan emaknya tidur. Emaknya tidak ada di kamar. Sepertinya ia masih mencuci piring bekas makan malam. Siwi ingin membantu emaknya. Niat itu diurungkan. Suasana hatinya sedang gundah. Jika terjadi pertengkaran antara Siwi dan Prita emak selalu menyalahkan Siwi, meminta Siwi mengalah dan meminta maaf. Tapi bukankan siwi tidak bersalah? Siwi mengusap air yang menggenang di sudut matanya dengan jemari.
            Siwi anak pembantu! Coba kalau gak dipungut mamaku sudah jadi gelandangan tuh anak! Ga tahu balas budi! Anak gembel belagu! Kata-kata pedas Prita masih terngiang-ngiang di telinga Siwi. Tidak di rumah tidak di sekolah. Kenapa Prita sering sekali memaki-makinya. Siwi menghela nafas sedih.
            Tiba-tiba ia teringat bapak. Bapak yang selalu membelanya ketika Siwi kecil diejek oleh teman-temannya. Bapak yang selalu menghiburnya dengan kata-kata yang sejuk ketika ia sedang sedih. Bapak yang meninggal karena tidak menghiraukan sakitnya, tetap mengayuh becaknya demi melunasi tagihan SPP Siwi dan demi tanggung jawabnya terhadap keluarga. Bapak yang akhirnya meninggal karenanya.
            Kau anak hebat Siwi! Anak sabar disayang Allah! Kita memang miskin harta tapi harus kaya iman dan ilmu. Gantungkan impianmu setinggi bintang di langit. Yakinlah kau pasti mampu meraihnya meski semua orang mencibirmu.
            Malam ini Siwi merasa seolah-olah bapak hadir di hadapannya. Dekat sekali, menyejukkan hatinya dengan kata-kata yang sering didengar. Dulu kata-kata itu sering diucapkan bapak. Tiba-tiba Siwi merasa rindu kepada bapak. Sejurus kemudian Siwi mendoakan bapak sebelum akhirnya ia terlelap.
                                                            *****
           Siwi terperangah. Air matanya mengambang di pelupuk mata. Tangannya sibuk menggerakkan mouse . Sesekali ia menyeka keringat di dahinya. Filenya hilang. Tulisannya hilang. Tulisan yang ia kerjakan berhari-hari untuk mengikuti lomba menulis karya tulis tingkat propinsi lenyap. Padahal batas akhir pengumpulan naskah lomba tinggal besok pagi. Siwi tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
            Note book mungil yang dipinjamkan Pak  Yudi untuk mengerjakan tulisannya masih berkedip-kedip di hadapannya. Jangan-jangan ini ulah Prita?  Bukankah tadi malam Prita sempat meminjam sebentar untuk mengerjakan  tugas biologi? Menurut pengakuan Prita notebooknya sedang eror. Ah, jangan su’udzon. Cepat-cepat dibuang jauh-jauh pikiran negatifnya. Tapi sekarang harus bagaimana? Apakah ia akan urung mengikuti lomba? Tapi bukankah di lomba kali ini ia diutus sebagai duta dari kotanya untuk maju ke tingkat provinsi.Apa komentar Pak Burhan guru pembimbingnya di seolah jika Siwi batal mengikuti lomba?
         Ya, beberapa bulan lalu Siwi sebagai perwakilan dari sekolah telah mampu memenangkan lomba karya tulis tingkat kota. Siwi telah berhasil mengalahkan pesaing-pesaingnya dari SMP lain. Betapa tiap hari ia harus pulang sore  untuk mengerjakan karyanya di sekolah dengan menggunakan komputer sekolah. Kali ini Pak Yudi yang merasa kasihan kapada Siwi berkenan meminjamkan sebuah notebook yang bisa digunakan lebih fleksibel. Ia boleh membawanya ke kamar untuk menyelesaikan naskah lomba. Tapi naskah yang sudah siap itu kini lenyap.
         Siwi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana ini bisa terjadi? Mungkin ia telah salah memencet tombol sehingga terdelete. Ah, rasa-rasanya tidak. Hampir putus asa hatinya. Diseretnya langkah kakinya ke kamar mandi untuk berwudhu. Ahad pagi yang cerah ini ia lupa belum menunaikan sholat dhuha. Ia ingin membawa kegundahannya. Mengadu pada yang Maha Kuasa.
                                                      ******
           SMPNegeri 1 heboh. Semua orang membicarakan gadis manis  anak kelas 2B yang memenangkan juara menulis karya tulis tingkat provinsi. Gadis yatim yang selalu berjilbab rapi dan bersikap santun mendapat penghargaan dari bapak gubernur. Hadiah uang yang diterimanya telah memberangkatkan umroh Mak Sari, emaknya tercinta. Mak Sari tak kuasa menahan kebahagian dan keharuannya.
          Pritapun telah mengakui kesalahannya. Diam-diam ia mengagumi kegigihan Siwi, teman yang sering ia ejek dengan sebutan anak pembantu. Ternyata Prita harus mengakui kehebatan Siwi dibanding dirinya. Prita merasa malu dan menyesal. Ia meminta maaf pada Siwi. Ternyata betul, ia yang telah menghapus file Siwi tempo hari.
                                                        ******
          Selepas sholat dhuha pagi itu Siwi kembali masuk kamar. Dengan sekuat tenaga dikumpulkannya  segala pikirannya untuk menulis ulang apa yang sudah ia tulis hari sebelumnya. Ia dengan sangat meminta ijin emak untuk tidak membantu emak hari itu. Konsentrasi menyelesaikan naskah lombanya. Berhenti hanya ketika ia merasa perlu. Sholat dan mandi misalnya. Tak lupa setiap usai sholat ia memohon petunjuk dan kekuatan pada yang kuasa.
           Akhirnya Senin pagi naskah itu selesai. Diedit seperlunya dan kemudian diserahkan panitia lomba. Siwi, anak Mak Sari telah  menyempurnakan semua ikhtiarnya.
      Setelah kejadian itu kini Siwi semakin murah senyum. Disampingnya selalu ada sahabat yang setia menemaninya. Prita. Mereka sering terlihat belajar dan bermain bersama-sama.

                                                 ************




(Cerita ini masuk dalam nominasi lomba menulis cerita pendek untuk anak yang diselenggarakan Majalah Hadila. dimuat dalam kumpulan cerpen Purnama di hati Rahmi Agustus 2012)