Jumat, 18 Januari 2013

cerpen anak islami :Tendangan Maut


                                                        
                                                    Oleh  : Ummi Ratna
                Semua ini berawal dari kemenangan  team futsal SD Intis melawan SD Alkhairaat. Sungguh, seumur-umur baru kali ini team futsal  SD Intis mengantongi  kemenangan. Bukan, bukan karena  anak-anak SD Intis tidak tangguh. Tapi sekolah ini merupakan sekolah baru. Level tertinggi adalah L-4 ( L four adalah sebutan bagi anak kelas empat) yang hanya terdiri  dari  enam anak. Itupun satu diantaranya perempuan. Wanda. Satu-satunya siswa perempuan di L4 yang  tidak tertarik futsal sama sekali sekalipun hanya sebagai supporter.
Jadi jika ada sekolah lain yang menantang pertandingan futsal semua siswa laki-laki di L-4 harus ikut berpartisipasi berjuang demi sekolah. Itupun personelnya masih kurang dan harus ditambah anak L-3 yang postur tubuh serta kelincahannya memungkinkan untuk menjadi personel pemain futsal. Biasanya Garda dari L-3 yang ikut bergabung. Novan dan Kayis berperan sebagai pemain cadangan. Hal yang sebetulnya kurang sepadan karena sekolah lain seringkali mengirimkan regu yang sudah teruji melalui seleksi ketat di sekolahnya serta rata-rata mereka sudah duduk di bangku kelas lima.
Kemenangan regu  futsal kali ini menjadi semacam euforia di Intis adalah merupakan hal yang wajar. Berkali-kali bertanding dengan SD Alkharaat mereka merasa selalu dipermalukan dengan kepahitan, yaitu kekalahan telak. Kali ini gol dari Ayasy, Garda dan  Dani seolah membayar kekalahan yang selama ini mereka rasakan. Enam-dua cukup membuat team SD Alkhairaat gigit jari meskipun mereka mambawa puluhan supporter dari sekolahnya. Supporter yang biasanya gegap gempita menyambut kemenangan regunya dan seringkali menciutkan hati anak-anak Intis.
Seperti janji Mr Bambs direktur sekolah merek jika SD Intis menang masing-masing yang berhasil mencetak gol akan mendapatkan sepuluh ribu rupiah sedangkan pemain lainnya mendapatkan masing-masing lima ribu rupiah. Tidak banyak memang. Hanya sekedar motivator tapi cukup membuat senyum mereka mengembang mendapatkan tambahan uang saku.  
             Bagi Ayasy masalahnya tidak sekedar uang sepuluh ribu.  Tampaknya lebih dari itu. Harga diri. Kemenangan regu SD Intis sekaligus dia sebagai pencetak gol fantastis adalah suatu kebanggaan sendiri. Kemenangan regu Intis yang menjadi buah bibir seluruh siswa berikut para educator. Tendangan hebat  Ayasy yang dibubungkan dari garis belakang yang dengan jitu langsung masuk ke gawang lawan menjadi pembicaraan. Mr Anto sebagai pelatihnyapun tak henti memuji. Ayasy merasa berada di atas angin. Ia seolah-olah menjadi pahlawan yang sangat berjasa karena berhasil mengalahkan SD Alkhairaat. Timbullah sombongnya. Di hadapan Wanda dan teman-teman di kelas lain tak henti dia bercerita tentang kehebatannya di lapangan futsal. Dia lupa bahwa kemenangan yang dirinya adalah kerja regu. Bukan karena kehebatan dirinya semata.
            Mulai hari itu Ayasy jadi merasa bahwa tendanganya sangat hebat terbukti dengan gol yang dicetaknya tempo hari. Ia mulai banyak bertingkah. Tidak hanya bola ia tendang. Kaleng bekas cat di halaman belakang sekolah, tempat sampah,  bahkan tempat pensil temannya yang kebetulan tergeletak di lantai kelas tak luput dari sasarannya. Terkadang di dalam kelas ia menendang-nendang angin bertingkah seolah sedang di lapangan. Hal itu membuat Ms Ayun wali kelasnya jengkel bukan kepalang. Beberapa temannya juga menggerutu akibat ulahnya.
            “Ayasy, ini di kelas bukan di lapangan. Jangan main tendang saja kamu ya” celetuk Ms Ayun ketika melihat Ayasy menendang buku Bahasa Indonesianya sendiri yang kebetulan terjatuh dari meja. Buku tersebut melayang-layang ke udara sebelum akhirnya jatuh tepat di atas mejanya. Ayasy tersenyum bangga memamerkan kebolehannya kepada Wanda yang ada di depannya. Wanda hanya mencibir. Ms Ayun geleng-geleng kepala. Hingga suatu pagi Ayasy kena batunya....
            Pagi itu seperti biasanya pelajaran Qiroati. Tiap pagi di awal hari anak-anak Intis belajar baca tulis Alqur’an sebelum opening. Semua anak sibuk. Ada yang sedang membaca disimak oleh educator ada yang sedang menulis, menyalin buku qiroati di hadapannya. Sebagian yang lain menyetorkan hafalan Al Qur’annya.
 Ayasy juga sibuk. Tapi tidak membaca, menulis Qiroati atau setor hafalan. Rupanya ia sedang berkhayal menjadi pemain sepak bola ulung seperti Ronaldo. Kaki kanannya siap beraksi kembali dengan loncatan yang dahsyat ke udara seolah-olah sedang menendang bola di lapangan. Tapi entah bagaimana mulanya mungkin malaikat diutus Allah untuk memberikan pelajaran pada seorang hambanya. Tendangannya melesat  dengan cepat tepat menimpa besi penyangga meja yang kebetulan  papannya lepas sehingga permukaannya tajam.
            “Creesss....!” darah segar mengalir dari  punggung telapak kaki kanan Ayasy. Ayasy meringis menahan sakit. Dengan terpincang-pincang ia menghampiri Ms Ayun yang sedang mengecek hafalan Wanda.
            “Mis, tolong. Kakiku...” ucapnya terbata-bata. Demi melihat darah Ayasy Mis Ayun terlonjak. Sertamerta dibawanya Ayasy ke ruang UKS. Luka Ayasy dirawat, diberi betadin dan dibalut kasa. Ayasy merasa perih luar biasa. Jika di rumah mungkin saja dia sudah menangis. Tapi ini di sekolah. Dia adalah pemimpin regu futsal SD Intis. Apalagi teman-teman merubungnya, ingin tahu apa yang sedang terjadi. Wandapun ada diantara mereka. Menangis dihadapan mereka berarti meruntuhkan kewibawaannya, tentu saja.
            Ayasy masih saja meringis kesakitan. Tapi hari ini Ayasy telah banyak belajar. Pertama sebagai manusia tidak selayaknya ia menyombongkan diri ketika berhasil meraih kemenangan. Yang kedua, peringatan dari educator hendaknya selalu diperhatikan.  Ayasy menyesali ulahnya. Dalam hati ia berjanji untuk memperbaiki sikapnya pada masa-masa mendatang.















                                      Malik Tidak Takut Lagi
Sekolah sudah berjalan satu bulan. Tapi seperti hari-hari yang lalu Malik masih selalu saja memegang erat tangan Mama.  Entahlah ia merasa sangat ngeri jika mama pergi. Malik tidak mau mama pergi. Tapi Malik juga tetap ingin sekolah. Betapa tidak. Ketika pertama kali ia datang ke sekolah ini diantar papa dan mamanya hatinya begitu terlonjak. Tak sabar rasanya unuk segera masuk menjadi siswa kelas 1 di sekolah ini.
Dan kini harapanya terkabul. Malik yang sudah terdaftar sebagai murid kelas satu di SD Intis memulai hari-hari pertamanya di sekolah. Teman Malik banyak. Ada Nia yang cantik, Alea yang ceria, Zaidan yang lucu, Iffah yang imut, Hafidz yang baik dan teman yang lainnya. Mrs Usna dan Mrs Ika educator kelas 1 pun adalah sosok yang ramah dan menyenangkan. Tapi Malik masih saja merasa takut.






                                                          Tendangan Maut
                                                    Oleh  : Ummi Ratna
                Semua ini berawal dari kemenangan  team futsal SD Intis melawan SD Alkhairaat. Sungguh, seumur-umur baru kali ini team futsal  SD Intis mengantongi  kemenangan. Bukan, bukan karena  anak-anak SD Intis tidak tangguh. Tapi sekolah ini merupakan sekolah baru. Level tertinggi adalah L-4 ( L four adalah sebutan bagi anak kelas empat) yang hanya terdiri  dari  enam anak. Itupun satu diantaranya perempuan. Wanda. Satu-satunya siswa perempuan di L4 yang  tidak tertarik futsal sama sekali sekalipun hanya sebagai supporter.
Jadi jika ada sekolah lain yang menantang pertandingan futsal semua siswa laki-laki di L-4 harus ikut berpartisipasi berjuang demi sekolah. Itupun personelnya masih kurang dan harus ditambah anak L-3 yang postur tubuh serta kelincahannya memungkinkan untuk menjadi personel pemain futsal. Biasanya Garda dari L-3 yang ikut bergabung. Novan dan Kayis berperan sebagai pemain cadangan. Hal yang sebetulnya kurang sepadan karena sekolah lain seringkali mengirimkan regu yang sudah teruji melalui seleksi ketat di sekolahnya serta rata-rata mereka sudah duduk di bangku kelas lima.
Kemenangan regu  futsal kali ini menjadi semacam euforia di Intis adalah merupakan hal yang wajar. Berkali-kali bertanding dengan SD Alkharaat mereka merasa selalu dipermalukan dengan kepahitan, yaitu kekalahan telak. Kali ini gol dari Ayasy, Garda dan  Dani seolah membayar kekalahan yang selama ini mereka rasakan. Enam-dua cukup membuat team SD Alkhairaat gigit jari meskipun mereka mambawa puluhan supporter dari sekolahnya. Supporter yang biasanya gegap gempita menyambut kemenangan regunya dan seringkali menciutkan hati anak-anak Intis.
Seperti janji Mr Bambs direktur sekolah merek jika SD Intis menang masing-masing yang berhasil mencetak gol akan mendapatkan sepuluh ribu rupiah sedangkan pemain lainnya mendapatkan masing-masing lima ribu rupiah. Tidak banyak memang. Hanya sekedar motivator tapi cukup membuat senyum mereka mengembang mendapatkan tambahan uang saku.  
             Bagi Ayasy masalahnya tidak sekedar uang sepuluh ribu.  Tampaknya lebih dari itu. Harga diri. Kemenangan regu SD Intis sekaligus dia sebagai pencetak gol fantastis adalah suatu kebanggaan sendiri. Kemenangan regu Intis yang menjadi buah bibir seluruh siswa berikut para educator. Tendangan hebat  Ayasy yang dibubungkan dari garis belakang yang dengan jitu langsung masuk ke gawang lawan menjadi pembicaraan. Mr Anto sebagai pelatihnyapun tak henti memuji. Ayasy merasa berada di atas angin. Ia seolah-olah menjadi pahlawan yang sangat berjasa karena berhasil mengalahkan SD Alkhairaat. Timbullah sombongnya. Di hadapan Wanda dan teman-teman di kelas lain tak henti dia bercerita tentang kehebatannya di lapangan futsal. Dia lupa bahwa kemenangan yang dirinya adalah kerja regu. Bukan karena kehebatan dirinya semata.
            Mulai hari itu Ayasy jadi merasa bahwa tendanganya sangat hebat terbukti dengan gol yang dicetaknya tempo hari. Ia mulai banyak bertingkah. Tidak hanya bola ia tendang. Kaleng bekas cat di halaman belakang sekolah, tempat sampah,  bahkan tempat pensil temannya yang kebetulan tergeletak di lantai kelas tak luput dari sasarannya. Terkadang di dalam kelas ia menendang-nendang angin bertingkah seolah sedang di lapangan. Hal itu membuat Ms Ayun wali kelasnya jengkel bukan kepalang. Beberapa temannya juga menggerutu akibat ulahnya.
            “Ayasy, ini di kelas bukan di lapangan. Jangan main tendang saja kamu ya” celetuk Ms Ayun ketika melihat Ayasy menendang buku Bahasa Indonesianya sendiri yang kebetulan terjatuh dari meja. Buku tersebut melayang-layang ke udara sebelum akhirnya jatuh tepat di atas mejanya. Ayasy tersenyum bangga memamerkan kebolehannya kepada Wanda yang ada di depannya. Wanda hanya mencibir. Ms Ayun geleng-geleng kepala. Hingga suatu pagi Ayasy kena batunya....
            Pagi itu seperti biasanya pelajaran Qiroati. Tiap pagi di awal hari anak-anak Intis belajar baca tulis Alqur’an sebelum opening. Semua anak sibuk. Ada yang sedang membaca disimak oleh educator ada yang sedang menulis, menyalin buku qiroati di hadapannya. Sebagian yang lain menyetorkan hafalan Al Qur’annya.
 Ayasy juga sibuk. Tapi tidak membaca, menulis Qiroati atau setor hafalan. Rupanya ia sedang berkhayal menjadi pemain sepak bola ulung seperti Ronaldo. Kaki kanannya siap beraksi kembali dengan loncatan yang dahsyat ke udara seolah-olah sedang menendang bola di lapangan. Tapi entah bagaimana mulanya mungkin malaikat diutus Allah untuk memberikan pelajaran pada seorang hambanya. Tendangannya melesat  dengan cepat tepat menimpa besi penyangga meja yang kebetulan  papannya lepas sehingga permukaannya tajam.
            “Creesss....!” darah segar mengalir dari  punggung telapak kaki kanan Ayasy. Ayasy meringis menahan sakit. Dengan terpincang-pincang ia menghampiri Ms Ayun yang sedang mengecek hafalan Wanda.
            “Mis, tolong. Kakiku...” ucapnya terbata-bata. Demi melihat darah Ayasy Mis Ayun terlonjak. Sertamerta dibawanya Ayasy ke ruang UKS. Luka Ayasy dirawat, diberi betadin dan dibalut kasa. Ayasy merasa perih luar biasa. Jika di rumah mungkin saja dia sudah menangis. Tapi ini di sekolah. Dia adalah pemimpin regu futsal SD Intis. Apalagi teman-teman merubungnya, ingin tahu apa yang sedang terjadi. Wandapun ada diantara mereka. Menangis dihadapan mereka berarti meruntuhkan kewibawaannya, tentu saja.
            Ayasy masih saja meringis kesakitan. Tapi hari ini Ayasy telah banyak belajar. Pertama sebagai manusia tidak selayaknya ia menyombongkan diri ketika berhasil meraih kemenangan. Yang kedua, peringatan dari educator hendaknya selalu diperhatikan.  Ayasy menyesali ulahnya. Dalam hati ia berjanji untuk memperbaiki sikapnya pada masa-masa mendatang.















                                      Malik Tidak Takut Lagi
Sekolah sudah berjalan satu bulan. Tapi seperti hari-hari yang lalu Malik masih selalu saja memegang erat tangan Mama.  Entahlah ia merasa sangat ngeri jika mama pergi. Malik tidak mau mama pergi. Tapi Malik juga tetap ingin sekolah. Betapa tidak. Ketika pertama kali ia datang ke sekolah ini diantar papa dan mamanya hatinya begitu terlonjak. Tak sabar rasanya unuk segera masuk menjadi siswa kelas 1 di sekolah ini.
Dan kini harapanya terkabul. Malik yang sudah terdaftar sebagai murid kelas satu di SD Intis memulai hari-hari pertamanya di sekolah. Teman Malik banyak. Ada Nia yang cantik, Alea yang ceria, Zaidan yang lucu, Iffah yang imut, Hafidz yang baik dan teman yang lainnya. Mrs Usna dan Mrs Ika educator kelas 1 pun adalah sosok yang ramah dan menyenangkan. Tapi Malik masih saja merasa takut.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar