Oleh : Ummi Ratna
Semua
ini berawal dari kemenangan team futsal
SD Intis melawan SD Alkhairaat. Sungguh, seumur-umur baru kali ini team futsal SD Intis mengantongi kemenangan. Bukan, bukan karena anak-anak SD Intis tidak tangguh. Tapi
sekolah ini merupakan sekolah baru. Level tertinggi adalah L-4 ( L four adalah
sebutan bagi anak kelas empat) yang hanya terdiri dari
enam anak. Itupun satu diantaranya perempuan. Wanda. Satu-satunya siswa
perempuan di L4 yang tidak tertarik
futsal sama sekali sekalipun hanya sebagai supporter.
Jadi
jika ada sekolah lain yang menantang pertandingan futsal semua siswa laki-laki
di L-4 harus ikut berpartisipasi berjuang demi sekolah. Itupun personelnya
masih kurang dan harus ditambah anak L-3 yang postur tubuh serta kelincahannya
memungkinkan untuk menjadi personel pemain futsal. Biasanya Garda dari L-3 yang
ikut bergabung. Novan dan Kayis berperan sebagai pemain cadangan. Hal yang
sebetulnya kurang sepadan karena sekolah lain seringkali mengirimkan regu yang
sudah teruji melalui seleksi ketat di sekolahnya serta rata-rata mereka sudah
duduk di bangku kelas lima.
Kemenangan
regu futsal kali ini menjadi semacam euforia
di Intis adalah merupakan hal yang wajar. Berkali-kali bertanding dengan SD
Alkharaat mereka merasa selalu dipermalukan dengan kepahitan, yaitu kekalahan
telak. Kali ini gol dari Ayasy, Garda dan Dani seolah membayar kekalahan yang selama ini
mereka rasakan. Enam-dua cukup membuat team SD Alkhairaat gigit jari meskipun
mereka mambawa puluhan supporter dari sekolahnya. Supporter yang biasanya gegap
gempita menyambut kemenangan regunya dan seringkali menciutkan hati anak-anak
Intis.
Seperti
janji Mr Bambs direktur sekolah merek jika SD Intis menang masing-masing yang
berhasil mencetak gol akan mendapatkan sepuluh ribu rupiah sedangkan pemain
lainnya mendapatkan masing-masing lima ribu rupiah. Tidak banyak memang. Hanya
sekedar motivator tapi cukup membuat senyum mereka mengembang mendapatkan
tambahan uang saku.
Bagi Ayasy
masalahnya tidak sekedar uang sepuluh ribu.
Tampaknya lebih dari itu. Harga diri. Kemenangan regu SD Intis sekaligus
dia sebagai pencetak gol fantastis adalah suatu kebanggaan sendiri. Kemenangan
regu Intis yang menjadi buah bibir seluruh siswa berikut para educator.
Tendangan hebat Ayasy yang dibubungkan
dari garis belakang yang dengan jitu langsung masuk ke gawang lawan menjadi
pembicaraan. Mr Anto sebagai pelatihnyapun tak henti memuji. Ayasy merasa
berada di atas angin. Ia seolah-olah menjadi pahlawan yang sangat berjasa
karena berhasil mengalahkan SD Alkhairaat. Timbullah sombongnya. Di hadapan
Wanda dan teman-teman di kelas lain tak henti dia bercerita tentang
kehebatannya di lapangan futsal. Dia lupa bahwa kemenangan yang dirinya adalah
kerja regu. Bukan karena kehebatan dirinya semata.
Mulai hari itu Ayasy jadi merasa bahwa tendanganya sangat
hebat terbukti dengan gol yang dicetaknya tempo hari. Ia mulai banyak
bertingkah. Tidak hanya bola ia tendang. Kaleng bekas cat di halaman belakang
sekolah, tempat sampah, bahkan tempat
pensil temannya yang kebetulan tergeletak di lantai kelas tak luput dari
sasarannya. Terkadang di dalam kelas ia menendang-nendang angin bertingkah
seolah sedang di lapangan. Hal itu membuat Ms Ayun wali kelasnya jengkel bukan
kepalang. Beberapa temannya juga menggerutu akibat ulahnya.
“Ayasy, ini di kelas bukan di lapangan. Jangan main
tendang saja kamu ya” celetuk Ms Ayun ketika melihat Ayasy menendang buku
Bahasa Indonesianya sendiri yang kebetulan terjatuh dari meja. Buku tersebut
melayang-layang ke udara sebelum akhirnya jatuh tepat di atas mejanya. Ayasy
tersenyum bangga memamerkan kebolehannya kepada Wanda yang ada di depannya.
Wanda hanya mencibir. Ms Ayun geleng-geleng kepala. Hingga suatu pagi Ayasy
kena batunya....
Pagi itu seperti biasanya pelajaran Qiroati. Tiap pagi di
awal hari anak-anak Intis belajar baca tulis Alqur’an sebelum opening. Semua
anak sibuk. Ada yang sedang membaca disimak oleh educator ada yang sedang
menulis, menyalin buku qiroati di hadapannya. Sebagian yang lain menyetorkan
hafalan Al Qur’annya.
Ayasy juga sibuk. Tapi tidak membaca, menulis
Qiroati atau setor hafalan. Rupanya ia sedang berkhayal menjadi pemain sepak
bola ulung seperti Ronaldo. Kaki kanannya siap beraksi kembali dengan loncatan
yang dahsyat ke udara seolah-olah sedang menendang bola di lapangan. Tapi entah
bagaimana mulanya mungkin malaikat diutus Allah untuk memberikan pelajaran pada
seorang hambanya. Tendangannya melesat
dengan cepat tepat menimpa besi penyangga meja yang kebetulan papannya lepas sehingga permukaannya tajam.
“Creesss....!” darah segar mengalir dari punggung telapak kaki kanan Ayasy. Ayasy
meringis menahan sakit. Dengan terpincang-pincang ia menghampiri Ms Ayun yang
sedang mengecek hafalan Wanda.
“Mis, tolong. Kakiku...” ucapnya terbata-bata. Demi
melihat darah Ayasy Mis Ayun terlonjak. Sertamerta dibawanya Ayasy ke ruang
UKS. Luka Ayasy dirawat, diberi betadin dan dibalut kasa. Ayasy merasa perih
luar biasa. Jika di rumah mungkin saja dia sudah menangis. Tapi ini di sekolah.
Dia adalah pemimpin regu futsal SD Intis. Apalagi teman-teman merubungnya,
ingin tahu apa yang sedang terjadi. Wandapun ada diantara mereka. Menangis
dihadapan mereka berarti meruntuhkan kewibawaannya, tentu saja.
Ayasy masih saja meringis kesakitan. Tapi hari ini Ayasy
telah banyak belajar. Pertama sebagai manusia tidak selayaknya ia menyombongkan
diri ketika berhasil meraih kemenangan. Yang kedua, peringatan dari educator
hendaknya selalu diperhatikan. Ayasy
menyesali ulahnya. Dalam hati ia berjanji untuk memperbaiki sikapnya pada
masa-masa mendatang.
Malik
Tidak Takut Lagi
Sekolah
sudah berjalan satu bulan. Tapi seperti hari-hari yang lalu Malik masih selalu
saja memegang erat tangan Mama. Entahlah
ia merasa sangat ngeri jika mama pergi. Malik tidak mau mama pergi. Tapi Malik
juga tetap ingin sekolah. Betapa tidak. Ketika pertama kali ia datang ke
sekolah ini diantar papa dan mamanya hatinya begitu terlonjak. Tak sabar
rasanya unuk segera masuk menjadi siswa kelas 1 di sekolah ini.
Dan
kini harapanya terkabul. Malik yang sudah terdaftar sebagai murid kelas satu di
SD Intis memulai hari-hari pertamanya di sekolah. Teman Malik banyak. Ada Nia
yang cantik, Alea yang ceria, Zaidan yang lucu, Iffah yang imut, Hafidz yang
baik dan teman yang lainnya. Mrs Usna dan Mrs Ika educator kelas 1 pun adalah
sosok yang ramah dan menyenangkan. Tapi Malik masih saja merasa takut.
Tendangan Maut
Oleh : Ummi Ratna
Semua
ini berawal dari kemenangan team futsal
SD Intis melawan SD Alkhairaat. Sungguh, seumur-umur baru kali ini team futsal SD Intis mengantongi kemenangan. Bukan, bukan karena anak-anak SD Intis tidak tangguh. Tapi
sekolah ini merupakan sekolah baru. Level tertinggi adalah L-4 ( L four adalah
sebutan bagi anak kelas empat) yang hanya terdiri dari
enam anak. Itupun satu diantaranya perempuan. Wanda. Satu-satunya siswa
perempuan di L4 yang tidak tertarik
futsal sama sekali sekalipun hanya sebagai supporter.
Jadi
jika ada sekolah lain yang menantang pertandingan futsal semua siswa laki-laki
di L-4 harus ikut berpartisipasi berjuang demi sekolah. Itupun personelnya
masih kurang dan harus ditambah anak L-3 yang postur tubuh serta kelincahannya
memungkinkan untuk menjadi personel pemain futsal. Biasanya Garda dari L-3 yang
ikut bergabung. Novan dan Kayis berperan sebagai pemain cadangan. Hal yang
sebetulnya kurang sepadan karena sekolah lain seringkali mengirimkan regu yang
sudah teruji melalui seleksi ketat di sekolahnya serta rata-rata mereka sudah
duduk di bangku kelas lima.
Kemenangan
regu futsal kali ini menjadi semacam euforia
di Intis adalah merupakan hal yang wajar. Berkali-kali bertanding dengan SD
Alkharaat mereka merasa selalu dipermalukan dengan kepahitan, yaitu kekalahan
telak. Kali ini gol dari Ayasy, Garda dan Dani seolah membayar kekalahan yang selama ini
mereka rasakan. Enam-dua cukup membuat team SD Alkhairaat gigit jari meskipun
mereka mambawa puluhan supporter dari sekolahnya. Supporter yang biasanya gegap
gempita menyambut kemenangan regunya dan seringkali menciutkan hati anak-anak
Intis.
Seperti
janji Mr Bambs direktur sekolah merek jika SD Intis menang masing-masing yang
berhasil mencetak gol akan mendapatkan sepuluh ribu rupiah sedangkan pemain
lainnya mendapatkan masing-masing lima ribu rupiah. Tidak banyak memang. Hanya
sekedar motivator tapi cukup membuat senyum mereka mengembang mendapatkan
tambahan uang saku.
Bagi Ayasy
masalahnya tidak sekedar uang sepuluh ribu.
Tampaknya lebih dari itu. Harga diri. Kemenangan regu SD Intis sekaligus
dia sebagai pencetak gol fantastis adalah suatu kebanggaan sendiri. Kemenangan
regu Intis yang menjadi buah bibir seluruh siswa berikut para educator.
Tendangan hebat Ayasy yang dibubungkan
dari garis belakang yang dengan jitu langsung masuk ke gawang lawan menjadi
pembicaraan. Mr Anto sebagai pelatihnyapun tak henti memuji. Ayasy merasa
berada di atas angin. Ia seolah-olah menjadi pahlawan yang sangat berjasa
karena berhasil mengalahkan SD Alkhairaat. Timbullah sombongnya. Di hadapan
Wanda dan teman-teman di kelas lain tak henti dia bercerita tentang
kehebatannya di lapangan futsal. Dia lupa bahwa kemenangan yang dirinya adalah
kerja regu. Bukan karena kehebatan dirinya semata.
Mulai hari itu Ayasy jadi merasa bahwa tendanganya sangat
hebat terbukti dengan gol yang dicetaknya tempo hari. Ia mulai banyak
bertingkah. Tidak hanya bola ia tendang. Kaleng bekas cat di halaman belakang
sekolah, tempat sampah, bahkan tempat
pensil temannya yang kebetulan tergeletak di lantai kelas tak luput dari
sasarannya. Terkadang di dalam kelas ia menendang-nendang angin bertingkah
seolah sedang di lapangan. Hal itu membuat Ms Ayun wali kelasnya jengkel bukan
kepalang. Beberapa temannya juga menggerutu akibat ulahnya.
“Ayasy, ini di kelas bukan di lapangan. Jangan main
tendang saja kamu ya” celetuk Ms Ayun ketika melihat Ayasy menendang buku
Bahasa Indonesianya sendiri yang kebetulan terjatuh dari meja. Buku tersebut
melayang-layang ke udara sebelum akhirnya jatuh tepat di atas mejanya. Ayasy
tersenyum bangga memamerkan kebolehannya kepada Wanda yang ada di depannya.
Wanda hanya mencibir. Ms Ayun geleng-geleng kepala. Hingga suatu pagi Ayasy
kena batunya....
Pagi itu seperti biasanya pelajaran Qiroati. Tiap pagi di
awal hari anak-anak Intis belajar baca tulis Alqur’an sebelum opening. Semua
anak sibuk. Ada yang sedang membaca disimak oleh educator ada yang sedang
menulis, menyalin buku qiroati di hadapannya. Sebagian yang lain menyetorkan
hafalan Al Qur’annya.
Ayasy juga sibuk. Tapi tidak membaca, menulis
Qiroati atau setor hafalan. Rupanya ia sedang berkhayal menjadi pemain sepak
bola ulung seperti Ronaldo. Kaki kanannya siap beraksi kembali dengan loncatan
yang dahsyat ke udara seolah-olah sedang menendang bola di lapangan. Tapi entah
bagaimana mulanya mungkin malaikat diutus Allah untuk memberikan pelajaran pada
seorang hambanya. Tendangannya melesat
dengan cepat tepat menimpa besi penyangga meja yang kebetulan papannya lepas sehingga permukaannya tajam.
“Creesss....!” darah segar mengalir dari punggung telapak kaki kanan Ayasy. Ayasy
meringis menahan sakit. Dengan terpincang-pincang ia menghampiri Ms Ayun yang
sedang mengecek hafalan Wanda.
“Mis, tolong. Kakiku...” ucapnya terbata-bata. Demi
melihat darah Ayasy Mis Ayun terlonjak. Sertamerta dibawanya Ayasy ke ruang
UKS. Luka Ayasy dirawat, diberi betadin dan dibalut kasa. Ayasy merasa perih
luar biasa. Jika di rumah mungkin saja dia sudah menangis. Tapi ini di sekolah.
Dia adalah pemimpin regu futsal SD Intis. Apalagi teman-teman merubungnya,
ingin tahu apa yang sedang terjadi. Wandapun ada diantara mereka. Menangis
dihadapan mereka berarti meruntuhkan kewibawaannya, tentu saja.
Ayasy masih saja meringis kesakitan. Tapi hari ini Ayasy
telah banyak belajar. Pertama sebagai manusia tidak selayaknya ia menyombongkan
diri ketika berhasil meraih kemenangan. Yang kedua, peringatan dari educator
hendaknya selalu diperhatikan. Ayasy
menyesali ulahnya. Dalam hati ia berjanji untuk memperbaiki sikapnya pada
masa-masa mendatang.
Malik
Tidak Takut Lagi
Sekolah
sudah berjalan satu bulan. Tapi seperti hari-hari yang lalu Malik masih selalu
saja memegang erat tangan Mama. Entahlah
ia merasa sangat ngeri jika mama pergi. Malik tidak mau mama pergi. Tapi Malik
juga tetap ingin sekolah. Betapa tidak. Ketika pertama kali ia datang ke
sekolah ini diantar papa dan mamanya hatinya begitu terlonjak. Tak sabar
rasanya unuk segera masuk menjadi siswa kelas 1 di sekolah ini.
Dan
kini harapanya terkabul. Malik yang sudah terdaftar sebagai murid kelas satu di
SD Intis memulai hari-hari pertamanya di sekolah. Teman Malik banyak. Ada Nia
yang cantik, Alea yang ceria, Zaidan yang lucu, Iffah yang imut, Hafidz yang
baik dan teman yang lainnya. Mrs Usna dan Mrs Ika educator kelas 1 pun adalah
sosok yang ramah dan menyenangkan. Tapi Malik masih saja merasa takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar